Kamis, 27 November 2008

REDD INDUSTRI TIDAK ADIL BAGI RAKYAT


Gagalnya Regime Global

Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang merupakan soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

Secara umum sebagian besar penduduk negara –negara kaya dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang membabi buta di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan skala global. karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.


REDD salah satu Proyek “TOILET” Pemanasan Global

Pemanasan global menjadi rumit karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan dan sampai hari ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan Indonesia hanya dihargai sebagai “TOILET” C02 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagi masyarakat dan Bangsa Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air, energi dan pangan rakyat sekitar hutan.

Maka, muncul tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions from deforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban membayar negara-negara Utara kepada negara-negara Selatan guna mengurangi penggundulan hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi.

REDD Skema Baru Pencucian Dosa

Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat menggunakan sistem klasifikasi hutan pada tataguna hutan kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan (tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus ditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang kondisi masih berupa hutan. Dengan pengakatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan melibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah."


Dengan Klasifikasi model ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini berada dlm "kawasan hutan" berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan "terusir" dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka Pemerintah Pusat via Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara membabi-buta menetapkan tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatas hutan terpadu sampai dengan 30%). Ini akan berdampak pada ketersingkiran masyarakat di "kawasan hutan". Secara tegas dalam IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) memandatkan untuk menegosiasikan "kebun kayu" (HTI), Perkebunan Kelapa Sawit dan Kawasan Konservasi ke dalam skema REDDI. Dan ini berarti tidak ada tempat buat Rakyat. Sebab yang paling diuntungkan adalah para pebisnis di sektor hutan, sektor perkebunan dan sektor konservasi. Bahkan sektor perkebunan sekala besar melakukan lobby tingkat tinggi kepada FAO, bahwa pohon sawit sama fungsinya dengan fungsi hutan.
Penegasan ini pernah di ungkap oleh Pejabat Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim. Dengan tanpa rasa berasalah, pejabat tersebut ngotot kalau sawit fungsinya sama dengan fungsi hutan. Sungguh luar biasa argumentasi ini dan amat bodoh. Lobby ini di motori oleh pengusaha Malaysia yang sedang bersekongkol untuk mendapatkan dana segar dagang karbon dan mencuci dosa konflik social, ekonomi dan perusakan hutan (konservasi besar-besaran) serta penggusuran masyarakat adat dari tanahnya.

REDD Bukan Solusi Nyata Perubahan Iklim

Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia), Mekanisme ini menegaskan pemerintah untuk mengemis kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan Indonesia, maka tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara juga memiliki tanggung jawab besar ketimbang ‘membagi’ uang receh kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.”

Pertama; REDD tak lebih dari upaya menutup akses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan menyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan dan pertambangan. Keempat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Betapa tidak, hutan adalah ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/ market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Kyoto Protokol mengatur berbagai cara agar emisi karbon negara2 industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yang mereka keluarkan pada tahun 1990. Nah, protocol ini mengatur salah satu pengurangan tersebut dengan berbagai cara yang intinya memberi nilai moneter pada karbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yang mereka keluarkan.

Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secara meyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasi dana. Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap atau dicegah tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidak rusak/ditebang, dan inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.) sangat suka ide ini, karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri.

Insentif untuk tidak menebang hutan nampaknya OK, tetapi bila dilihat ini dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihak industri tersebut terus melakukan polusi atmosfir kita yang pada akhirnya akan menjadi masalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar, mereka dapat melakukan ini, Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema ini akan menjadi semacam area status-quo dimana masyarakat tidak boleh menebang atau memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untuk melayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanj

Menegasikan Inisiatif Rakyat Selamatkan Hutan

Orang Muluy telah lama menjaga hutan gunung lumut, sejak ratusan tahun lalu. Muluy adalah salah satu desa di Kabupaten Paser Kalimantan Timur, isu mencuat Muluy ketika, warga melakukan protes atas kehadiran perusahaan HPH sekitar tahun 1984, waktu itu kendaraan logging HPH PT. Telaga Mas di bakar, based camp pekerja di bakar dan jalan logging di blokade warga. Peristiwa ini membuka para pembuat kebijakan untuk memperhatikan protes penduduk Muluy atas keinginannya dalam melindungi hutan gunung lumut. Hutan Gn. Lumut, melindungi 3 DAS sungai yang bermuara ke Ibukota Kabupaten, mensuplai air bersih bagi sekitar 300.000 jiwa penduduk dan melakukan perlindungan hutan tropis di kalimantan timur. Saat ini, warga Muluy telah memanfaatkan sumberdaya hutannya untuk kepentingan kehidupan yang berlanjut, dengan listrik mikrohydro penduduk sudah dapat mengakses penerangan dan digunakan untuk pendidikan, industri kecil yang sedang di upayakan. Penduduk melindungi dan merehabilitasi hutan yang ada.

Cerita lain, dari masyarakat adat Ngaju di Kalimantan Tengah, yang berjuang bersama untukmempertahankan hak-hak kelolanya atas sumberdaya alam gambut dari proyek PLG 1 juta hektar. Lebih 1 juta hektar hutan gambut dibabat untuk pertanian padi oleh Regime Soeharto, walaupun proyek ini disebut gagal, tetapi kerusakan hutan gambut sedang diupayakan pemulihannya oleh masyarakat ngaju secara swadaya. Hutan-hutan tersisa tetap dilindungi bersama dan dimanfaatkan untuk kehidupan berkelanjutan sampai masa depan. Saat ini menurut laporan dari Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) dan Yayasan Petak Danum (YPD) telah menyatakan untuk menjaga 200.000 hektar hutan adat yang akan di lindungi bersama dan dimanfaatkan berdasarkan kesepakatan aturan adat. Tidak kurang dari lebih 150.000 pohon hutan dan rotan telah di tanam di kebun-kebun penduduk yang dulu di rusak oleh proyek lahan gambut sejuta hektar. Ada sekitar 7.000 hektar sawah yang berhasil di cetak secara tradisional di 12 desa yang dilakukan sejak tahun 1999.

Melawan "Pasar" Karbon, melalui Isu perubahan iklim

Perlawanan tidak cukup dilakukan oleh orang Muluy di Gunung Lumut, oleh orang Katu di Lore Lindu, oleh orang Suku Anak Dalam di Bukit Barisan, oleh orang Basap di Pegunungan Kapur Berau, oleh orang Ngaju di wilayah adat Gambut Kalteng, oleh orang Papua di lembah baliem. Perlawanan juga tidak hanya dilakukan oleh aktivis dan NGO yang sadar akan Kolonialisme baru abad 20, di Jakarta, Kalimantan, Sumatera, Celebes, Papua dan Tanah Jawa, tetapi perlawanan harus menjahit erat antar negara selatan untuk memaksa negara utara tidak lagi mengisap dan menindas rakyat negara berkembang dengan membungkam melalui skema REDD. Negara dan bangsa-bangsa asli di selatan menolak tunduk di bawah kolonialisme utara, menolak tunduk di moncong perang, menolak tunduk embargo dan menolak tunduk pada demokrasi sembako.

Negara-negara selatan harus menyatukan kekuatan untuk menggugat tanggung jawab negara-negara utara untuk membayar hutang sosial ekologis mereka.Negara-negara selatan harus pula membangun inisiatif-inisiatif perombakan tatanan sosial ekonomi global yang tidak adil.

Negara-negara selatan harus berhenti berebut 'proyek pemanasan global' atau keuntungan ekonomi jangka pendek dari perdagangan karbon. Sudah saatnya kita meninggalkan investasi yang tidak etis dan anti-ekologi, yang saat ini didominasi oleh korporasi dengan dukungan negara-negara utara dan negara-negara kaya baru. Kita harus berhenti merampas akses rakyat atas sumber-sumber agraria, tidak melanggengkan komoditi buruh murah dan menolak transfer teknologi yang tidak ramah lingkungan.[koes/Nov/2008]


Tidak ada komentar: